Oleh: Dian Mardiana
IBU itu menggendong anaknya. Wajahnya tidak terlihat. Ditutupi selendang. Ketika helai kain itu terbuka. Wajah anak itu terlihat murung. Kulitnya tidak mulus murni. Ada bekas bercak hitam. Dilihat lebih dekat, titik-titik hitam itu mulai memudar. Bekasnya terlihat menyelimuti seluruh kulit di badan, tangan, dan kakinya. Aldi, seorang bocah sepuluh bulan rupanya habis kena campak. Kondisi badannya memang rentan. Kadang dia suka mencret. Gampang terserang penyakit.
Anak sehat memang idaman keluarga. Anak sesekali sakit juga sudah biasa. Tapi jika banyak anak yang sakit di satu kampung tentu jadi persoalan bersama. Satu anak terkena campak memang biasa. Namun ketika ini menjadi wabah, tentu persoalannya menjadi lain. Beberapa penelitianmenyebutkan sakitnya seorang anak dipengaruhi juga dari kesehatan si ibu dan kekebalan tubuh si anak. Saat itulah kesehatan ibu dan anak di perkenalkan. Berbagai penyuluhan kerap kali dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Salah satunya pengenalan Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. Namun sayangnya, berbagai penyuluhan kadang kala kurang mengena pada prakteknya.
Saat ini ASI Eksklusif kembali gencar didendangkan. “Berikan sampai usia bayi 6 bulan” begitu kata Bidan tiap kali ibu-ibu itu menemuinya. Jika bidan mulai berceramah, mereka hanya mengangguk-angguk. Pada prakteknya, ASI tidak semudah itu diterima masyarakat. Ibu Uus misalnya, ibu dari kampung Salamitan kelurahan Setia Mulya ini tetap saja bandel mengikuti saran bidan. Anak baru beberapa minggu saja, dia tidak sungkan-sungkan memberi anaknya pisang. “Asal tidak nangis” ungkapnya sambil tertawa keras.
ASI Eksklusif Bukan ASI Biasa
ASI Eksklusif di Indonesia sendiri pertama kali di sosialisasikan tahun 1980-an. Hanya saja, pada saat itu ASI banyak didiskusikan di kota-kota besar. Desa-desa kecil, warga urban, dan perkampungan masih saja memberi bayi makanan apapun asalkan dia suka dan tidak nangis.
Sepuluh tahun setelahnya, tahun 1990-an mulailah merambah ke desa-desa, kelurahan dan perkampungan kecil. Melalui penyuluhan bidan dan puskesmas di kecamatan, ASI Eksklusif sudah dikenal masyarakat setempat. Hanya beberapa desa terdekat yang sudah mulai mencanangkan program ASI pada bayi. Itupun dengan definisi berbeda.
ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi dari 0 bulan sampai dengan 6 bulan usia bayi tanpa asupan susu atau makanan lain. Dari definisi ini saja sudah terlihat jelas, bahwa ASI dinamai ASI Eksklusif itu jelas rentang waktunyanya yakni hanya pada bayi 0 – 6 bulan tanpa pemberian susu kaleng, tajin, air gula, atau makanan lain.
Rupanya definisi ASI Eksklusif tidak sepenuhnya diterapkan pada bayi. Hal ini terihat dari diskusi terpadu tutorial pertama yang dilakukan oleh Studio DriyaMedia dengan SNIT tentang penerapan ASI Eksklusif di Kota Tasikmalaya hari Kamis lalu (20/6).
“Bisa diceritakan bagaimana pengalaman ibu-ibu saat menyusui anak dengan ASI?” Tanya Lilis, seorang fasilitator tutorial saat itu. Suarapun langsung bergemuruh. Lebih dari sepuluh ragam suara menjawab serentak. Ibu Uus yang paling keras. “empat bulan”, disusul dengan jawaban “enam bulan”, “satu tahun”, ada juga “dua tahun setengah.” Jelas ibu-ibu dari tiga kampung yang berbeda.
“Bu, ASI Eksklusif itu hanya tok diberikan pada bayi 0 – 6 bulan” Jelas Rianingsih, seorang tutor saat itu. Kaum ibu hanya mengangguk-angguk. Sebagian dari mereka sudah paham definisinya, namun sebagian lainnya ingat-ingat lupa. Maklum saja anak-anak mereka sudah besar dan sudah lewat dari 6 bulan. Mereka hanya bercerita pengalamannya masing-masing saat bayi mereka dilahirkan lalu dibesarkan dengan ASI dan asupan susu tambahan. “Saya sudah menerapkan ASI pada bayi selama 6 bulan, hanya kalau saya ke warung, sesekali pakai susu tambahan.” Ujar salah satu ibu dengan percaya diri. Dengan begitu, pada prakteknya bayi 0 – 6 bulan masih saja diasupi susu tambahan, bubur bayi, buah-buahan, dan makanan sampingan lainnya. Begitulah 30 peserta ibu-ibu itu menanggapi saat Studio DriyaMedia bersama-sama dengan SNIT, mencoba menggali informasi tentang penerapan ASI Eksklusif pada bayi.
Dari sini tentunya terlihat jelas, bahwa pada tahun 2010 di Kelurahan Setiamulya Tasikmalaya, definisi ASI Eksklusif belum juga merata dipahami kaum hawa. Pada diskusi itu, semuanya memang sangat antusias dan berani bercerita bahwa mereka sudah menerapkan apa yang dikatakan bidan kelurahan. Mereka sangat yakin bahwa pemberian ASI sudah dilakukan pada bayi. Namun, ketika definisi ASI Eksklusif itu dipaparkan, hanya satu dari 30 peserta yang mampu menerapkannya. Jadi siapa bilang ASI itu mahal. Dan siapa bilang ASI itu lebih dikenal.
Merk-Merk Bubur Bayi Lebih Dikenal Warga Kampung
Semua ibu sepertinya sepakat jika mereka begitu sibuk dengan urusan anak. Saat pertemuan ini saja, ibu-ibu datang bersama anak-anaknya. Sebagian anak mereka gendong. Sebagian yang lain bermain. Beberapa bocah berpose ala selebriti begitu kamera itu dijepret. Beberapa bocah lain berlari kejar-kejaran. Sebagian yang digendong disuapi makan siang. Ada tim, bubur bayi, ada juga pisang.
Dari semua anak yang digendong dan diberi makan siang, rata-rata berusia lebih dari enam bulan. Wajar saja, jika ibu-ibu mereka menenteng-nenteng mangkuk tim atau bubur bayi untuk makan siangnya. “saya biasa memakai Nestle Cerelac, Promina, Sun” ujar salah satu Ibu sambil memberi makan anaknya. “Kalau pagi-pagi biasanya saya kasih bubur bayi kemasan, kalau siang saya kasih jus buah-buahan seperti jeruk, apel, alpukat, ” ungkap ibu yang lain.
Rupanya memberi anak bubur bayi di usia lebih dari 3 bulan dengan merk-merk di warung lebih disukai para ibu kampung. Nestle Cerelac, Sun, Promina, adalah merk-merk yang biasa jadi santapan anak di usia sangat dini. “Kue regal juga” celetuk ibu berbajukan putih ke coklat-coklatan. Dengan beragam rasa dan kemasan praktis nan menarik, membuat para ibu tidak usah sibuk menyiapkan makan bayi. “lebih praktis” begitu lontaran yang terdengar.
Di sisi lain, kaum ibu ini pun tidak usah sibuk pula meneteki anak terus-terusan. Malah, mereka lebih senang jika anak minum susu dot dari susu formula bermerk SGM. “Di usia 4 bulan, saya memberi anak susu SGM” aku teh Nia, seorang ibu muda dari kampung Salamitan. Mereka sepertinya rela mengeluarkan lembaran uang untuk makan si bayi. Padahal, dari obrolan itu tidak satu pun ibu-ibu yang bilang bahwa ASI itu perlu uang.
Menggali Informasi dari Mulut ke Mulut
Kelurahan Setia Mulya terletak di kota Tasikmalaya, jaraknya tidak jauh dari pusat kota. 5-7 kilometer jarak yang mungkin ditempuh dari alun-alun kota. Namun, tengok saja informasi kesehatan yang mereka terima begitu jauh dari kemudahan. Setiap bulan, Bidan Kelurahan datang memberi penyuluhan dan melakukan rutinitas posyandu. Minggu ketiga di Kampung Salamitan, minggu kesatu di Kampung Peundeuy. Semua informasi kesehatan didapat dari posyandu ini.
Komunikasi satu bulan sekali bukanlah waktu yang sebentar. Bisa dibilang pertemuan itu sangat singkat. Satu hari dalam sebulan. Hanya dua jam. Bidan yang datang pada posyandu itu hanya cukup memberi imunisasi pada balita-balita di kampung. Sesekali menyampaikan informasi kesehatan yang perlu. Namun, waktu yang singkat ini biasanya habis dengan antrian balita yang ditimbang dan diberi obat untuk kekebalan tubuh.
Singkatnya waktu tak memberi kesempatan ibu-ibu untuk curhat tentang kondisi anak atau mengijinkan bidan bertanya tentang kondisi anak satu per satu. Akhirnya posyandu hanya menjadi rutinitas timbang bayi dan imunisasi.
“Lebih banyak dari saling bertanya pada tetangga” begitu jawab teh Nia saat ditanya tentang informasi kesehatan yang diperoleh. Ibu-ibu lain pun mengiyakan jawaban itu. Tampaknya, informasi yang didapat tersebar dari mulut ke mulut. Tetangga menjadi tempat efektif untuk bertanya. Apalagi, saat bidan itu hanya punya waktu sekali dalam sebulan mengunjungi kampung-kampung.
Ketika salah satu ibu tidak hadir pun di posyandu. Informasi itu didapat dari mulut tetangga. Tambahan lain, “Yah dari keluarga” ujar mereka. Kadang-kadang apa yang disampaikan bidan pun bukanlah solusi yang dirasakan masyarakat karena bidan cenderung memberi informasi kesehatan saat ini menurut mereka dan berdasarkan programnya sendiri. “Paraji lebih bisa diandalkan,” jelas banyak orang.
Beberapa Alasan [Tidak] Bisa Pakai ASI
75% ibu-ibu di kelurahan ini melahirkan dengan bantuan paraji. Prosesnya cepat dan jaraknya dekat. Kehadiran bidan dalam proses persalinan memang kurang membantu. Bukan tidak percaya, hanya saja pelayanan gratis dari pemerintah tidak pas dengan kebutuhan mereka. Untuk penggunaan KB saja daripada gratis, ibu-ibu lebih memilih untuk mandiri, beli sendiri.
Penggunaan alat kontrasepsi mengawali ketidakpercayaan mereka pada proses selanjutnya. Persalinan saja mereka percayakan pada paraji. Malah, parajilah yang paling mendukung penggunaan ASI Eksklusif dengan banyak pertimbangan dan pengalaman.
ASI Eksklusif memang punya manfaat positif bagi bayi. Selain sesuai dengan pencernaan bayi, pula meningkatkan kekebalan tubuh. Muhammad Fahmi, satu-satunya anak yang diberi ASI Eksklusif di satu kelurahan ini, tubuhnya terlihat padat dan badannya sehat. “Jarang sakit” cetus Ibu yang biasa dipanggil Teh Amin ini. Untuk memastikan dia minum ASI Eksklusif, si ibu rela membawa anaknya kemanapun dia pergi. Bahkan, suaminya pun turut mendukung dan mendampinginya kala perlu. Pada pertemuan ibu-ibu ini saja Teh Amin menggendongnya kemana-kemana. Ketika dia pergi jauh untuk ikut pelatihan, suaminya pun turut dan sesekali menggendongnya jika si ibu sedang diskusi.
Lain lagi dengan si kembar, Aldi dan Aldo, sejak dari lahir sudah diberi susu formula, bukan ASI Eksklusif. Si kembar lahir premature dan ASInya pun tidak keluar. “Sejak lahir saya sudah dipisahkan selama 17 hari” tutur Teh Nita sambil mengelus-ngelus Aldi yang digendongnya sedari tadi. Ibu muda dengan anak kembar ini biasa memberi anak susu SGM. “Dalam sebulan untuk susu saja, saya bisa habis 500 – 600 ribu rupiah,” Keluhnya. Dia lalu pun menambahkan “Sama seperti cicilan motor.”